ZAKAT PERTANIAN DAN TANAH YANG DISEWAKAN
“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena
mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah
kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat,
maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat
tidak menyiramiya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu perbuat” (QS Al-Baqarah, 2 : 265)
A. Pendahuluan
Ayat di atas menggambarkan orang yang mengeluarkan hartanya di jalan
Allah bagaikan menanam di sebuah kebun yang terletak di dataran tingi,
ia akan memperoleh hasilnya dua kali dalam setahun. Kebun tersebut
mendapatkan curah hujan yang cukup, atau hujan gerimis dan embun yang
memadai. Demikian pula halnya orang yang mengeluarkan zakat atau infak,
ia akan memetik hasilnya berlipat ganda, memperoleh pahala dan
memperoleh keberkahan harta yang dizakati. Adapun besar dan kecilnya
pahala dan berkah yang akan dipetik, tentu sesuai dengan amal yang
diberikan. Namun pahala dan keberkahannya tidak akan terputus selama
hujan dan gerimis turun untuk memberikan kesuburan tanahnya
(Al-Jurjawie, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh : 111)
Zakat adalah infak wajib yang diberlakukan pada tahun ke-2 hijrah, sesudah kewajiban puasa dan sebelum kewajiban haji. Kewajiban puasa
bertujuan untuk mendidik dan melatih mental kaum muslim agar menjadi
kuat serta tumbuh rasa solidaritas terhadap sesamanya. Dengan demikian
pemberlakuan zakat segera dapat diterima oleh kaum muslim yang telah
terlatih mentalnya itu. Sedangkan ibadah haji adalah gabungan antara
ibadah badaniyah dan ibadah maliyah. Baik untuk menempuh perjalanannya
yang jauh maupun untuk melaksanakan rute-rute ibadahnya memerlukan cost
dan resiko yang tinggi. Oleh karena itu diberlakukan setelah kewajiban
zakat. Zakat diwajibkan dengan tujuan untuk meringankan beban
penderitaan kaum dhu’afa, fakir miskin, atau melipur orang-orang yang
sengsara, dan membantu orang-orang yang sangat membutuhkan pertolongan.
Di samping itu pemberian zakat dapat merekat tali kasih sehingga tidak
timbul ketegangan atau gejolak di tengah-tengah masyarakat yang sering
terjadi di antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin
(Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Dien : 98).
Bagi orang mu’min menyadari sepenuhnya bahwa harta yang ada adalah
milik Allah. Manusia hanyalah pemegang amanat sementara yang diberi
tugas untuk mengelola. Dan Pemiliknya berhak membebankan apa saja kepada
pemegang amanat itu. Seorang hamba sebagai pemegang amanat melaksanakan
kewajiban tersebut dapat dipandang sebagai pemenuhan terhadap hak-hak
Allah atau sebagai pernyataan rasa syukur atas kepercayaan yang
diberikan kepadanya. Para sosiolog menyatakan bahwa manusia menurut tabiatnya adalah makhluk sosial (al-Insan Madaniyyun bithab’ih).
Ia tidak dapat hidup sebagai manusia tanpa bantuan masyarakatnya.
Disadari atau tidak manusia telah berhutang budi kepada masyarakatnya.
Ia memperoleh pengetahuan, memperoleh pengalaman dan budi pekerti yang
luhur berkat bimbingan dari masyarakatnya itu. Dengan demikian
masyarakatlah yang menjamin kelangsungan hidup seseorang. Atau boleh
dikatakan bahwa seseorang mungkin akan mati bila tidak mendapat bantuan
dari masyarakat. Dari asumsi ini jelaslah manusia telah berhutang kepada
masyarakatnya, semakin besar peran seseorang dalam masyarakat akan
semakin besar pula hutangnya kepada mereka, baik dalam ilmu pengetahuan
maupun dalam kekayaan duniawi. Oleh karena itu, pemberian sebagian
rizki kepada masyarakat dapat dianggap sebagai imbalan dari jasa-jasa
yang mereka berikan. (Yusuf Qardlawie, Fiqh al-Zakat, II : 1008-115)
B. Dasar Hukum Zakat Pertanian
Dasar hukum wajib zakat pertanian dan perkebunan ditentukan secara umum dalam Al-Qur’an, antara lain :
1. Surat Al-Baqarah ayat 267 sebagai berikut :
يا أيها الذين آمنوا أنفقوا من طيبات كسبتم ومما أخرجنا لكم من الأرض-الآية
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang
Kami keluarkan dari bumi untuk kamu“.
Perintah infaq dalam ayat ini pada dasarnya menunjukkan wajib.
Banyaklah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengungkapkan kata “infaq” tujuannya
infak wajib, yaitu zakat. Penyusun Al-Bahr al-Muhith yang dilansir oleh
Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa menurut Ali bin Abi Thalib,
Ubaidah al-Salmanie dan Ibnu Sirin maksud ayat tersebut adalah
zakat yang diwajibkan (Al -Tafsir al-Munir, III : 60). Tetapi
Al-Jashshash mengatakan bahwa kata infaq dalam ayat ini maksudnya
shadaqah, bukan zakat. Alasannya ada petunjuk dari kalimat : “wala tayammamu al-khabits minhu tunfiquun” (janganlah
kamu memilih yang jelek-jelek untuk kamu infakan dari padanya). Menurut
pendapatnya tidak ada perselisihan antara ulama salaf dan khalaf
bahwa yang dimaksudkannya adalah shadaqah (Ahkam al-Qur’an, I : 543).
Dengan demikian berpegang pada petunjuk lahir dari ayat tersebut, maka
pengertiannya mencakup infak wajib (zakat) dan infak suka rela (al-tathawwu’).
2. Surat Al-An’am ayat 141 sebagai berikut :
وهو الذى أنشأ جنات معروشات وغير معروشات والنخل والزرع
مختلفا أكله والزيتون والرمان متشابها وغير متشابه كلوا من ثمره
إذا أثمر وآتوا حقه يوم حصاده-الآية
Artinya :
“Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang
tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam
buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak
sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia
berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
dikeluarkan zakatnya)”
Kebanyakan ulama salaf berpendapat bahwa yang dimaksud “haknya” dalam
ayat ini adalah zakat yang diwajibkan, yaitu sebesar 10% atau 5%. Ulama
shahabat, tabi’in, dan pemuka madzhab yang berpendapat demikian antara
lain : Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, al-Hasan, Said bin
al-Musayyab, Muhammad bin Hanafiyah, Thawus, Qatadah, Adh-Dhahaq, Abu
Ja’far al-Thabari, al-Qurthubi, Ibnu Wahb, Ibn al-Qasim, Malik, Abu
Hanifah dan ulama pendukung madzhabnya serta sebagian ulama Syafi’iyah.
Sementara itu ada ulama lain yang berpendapat bahwa perintah ayat ini
terjadi sebelum turun ayat zakat, kemudian dimansuh oleh ayat zakat dan
ketentuan mengeluarkan 10% atau 5% (Yusuf Qardlawie, Fiqh al-Zakat, III :
344-345). Namun apabila dicermati, maka kedua pendapat tersebut secara
prinsip tidak bertentangan, karena pendapat pertama yang dianggap telah
dimansuh oleh ayat zakat dan ketentuan 10% atau 5% itu mengemukakan
bahwa yang dimaksud “haknya” adalah 10% atau 5% harta yang wajib
dikeluarkan, yakni harta zakat.
3. Hadits riwayat dari Abdullah bin Umar ra bahwa Nabi SAW bersabda :
فيما سقت السماء والعيون أو كان عثريا العشر وفيما سقى بالنضح
نصف العشر-رواه الجماعة الا مسلما لكن لفظ النسائى وأبى داود
وابن ماجه (بعلا) بدل (عثريا)
Artinya :
“Pada produksi pertanian yang diairi dengan air hujan dan dari
mata air atau memperoleh air dari dekat, maka zakatnya sepuluh persen;
dan pada hasil produksi pertanian yang diairi dengan alat angkutan air,
maka zakatnya lima persen” (HR. Sejumlah besar Ahli Hadits kecuali Muslim)
4. Hadits riwayat dari Jabir ra bahwa Nabi SAW bersabda :
فيما سقت الأنهار والغيم العشور وفيم سقى بالسانية نصف
العشور-رواه أحمد ومسلم والنسائى وأبو داود وقال : الأنهار
والعيون
Artinya :
“Pada hasil produksi pertanian yang diairi dengan air sungai dan
air hujan, zakatnya sepuluh persen, dan hasil produksi pertanian yang
diairi dengan alat penyiram maka zakatnya lima persen” (HR Ahmad, Muslim, Nasa’ie dan Abu Dawud)
Dua buah hadits tersebut menjelaskan kewajiban membayar zakat
pertanian dan perkebunan sebanyak 10% apabila diairi dengan air hujan
atau melalui selokan, dan 5% apabila diairi dengan alat angkutan atau
lainnya yang memerlukan biaya besar (Hasan Sulaiman al-Nurie dan Alawi
Abbas al-Maliki, Ibanah al-Ahkam, II : 304-306).
5. Dasar Ijma’ ; para ulama sepakat menetapkan kewajiban
membayar zakat sebesar 10% atau 5% untuk pertanian dan perkebunan,
walaupun terjadi ikhtilaf di kalangan mereka dalam hal-hal yang rinci
(Yusuf Qardlawi, Fiqh al-Zakat, I : 348)
C. Produksi Pertanian yang Wajib Zakat
Dengan landasan hukum di atas, para ulama berbeda pendapat mengenai
hasil pertanian dan perkebunan yang terkena wajib zakat. Sebagian mereka
membatasi hanya pada jenis pertanian dan perkebunan yang disebutkan
dalam hadits, yaitu gandum (hinthah) dan gandum jenis lain (sya’ir),
korma dan anggur. Sebagian yang lain menambahkan hasil-hasil produksi
yang dapat dijadikan bahan makanan pokok, dapat dikeringkan dan tahan
lama. Sebagian yang lain lagi berpendapat seluruh hasil produksi yang
dapat ditakar, dikeringkan dan tahan lama. Dan ada lagi yang berpendapat
mencakup seluruh produksi yang mempunyai nilai ekonomi. Alasan
masing-masing sebagai berikut :
1. Mazhab Ibnu Umar dan segolongan ulama salaf
Ibnu Umar dan sejumlah ulama Tabi’in serta orang-orang yang datang di
belakang mereka berpendapat bahwa zakat pertanian dan perkebunan hanya
berlaku pada empat jenis tanaman, yaitu : gandum (hinthah), gandum jenis lain (sya’ir),
korma dan anggur, selainnya tidak wajib zakat. Diantara ulama yang
berpendapat demikian ialah : Ahmad, Musa bin Thalhah, al-Hasan, Ibnu
Sirin, Al-Sya’bi, al-Hasan bin Shalih, Ibnu Abi Laila, Ibn al-Mubarak,
Abi Ubaid, dan Ibrahim, tetapi Ibrahim menambahkan jagung (Ibn Hazm,
al-Muhalla, V : 209 & Ibnai Qudamah, al-Mughni, II : 691). Mereka
beralasan dengan hadits riwayat Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari
Datuknya berkata :
إنما سن رسول الله صلى الله عليه وسلم الزكاة فى الحنطة والشعير والتمر والزبيب-
رواه ابن ماجه والدارقطنى وزاد ابن ماجه (الذرة)
Artinya :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah memberlakukan zakat hanya pada gandum dan sejenis gandum lain, korma dan angur” (HR Ibn Majah dan al-Daraquthni, Ibn Majah menambahkan “jagung”)
Dan berdasarkan riwayat dari Abu Musa dan Mu’adz ketika keduanya
diangkat menjadi guru ngaji di Yaman dan sekaligus menjadi ‘amil di
sana, Rasulullah SAW berpesan :
لاتأخذا الصدقة الا من هذه الأربعة : الحنطة والشعير والتمر والزبيب-رواه الطبرانى والحاكم
Artinya :
“Janganlah kamu memungut (zakat) kecuali dari empat jenis ini : gandum, gandum jenis lain, korma dan angur” (HR al-Thabarani dan al-Hakim)
Berdasarkan kedua riwayat tersebut mereka berpendapat bahwa selain
dari empat jenis produksi pertanian dan perkebunan yang tercantum dalam
hadits tidak wajib dikeluarkan zakatnya, karena tidak ada ijma dan tidak
ada makna-makna lain yang terkandung di dalamnya baik dari segi manfaat
atau dari segi lainnya.
2. Madzhab Malik dan al-Syafi’ie
Imam Malik dan al-Syafi’ie berpendapat bahwa obyek zakat pertanian
dan perkebunan meliputi berbagai jenis tanaman yang menjadi bahan
makanan pokok, dapat disimpan dan dikeringkan seperti gandum, jagung,
beras dan sejenisnya. Menurut mereka tidaklah wajib zakat jenis-jenis
tanaman yang tidak memenuhi persyaratan tersebut. Buah pala, kemiri,
kenari dan sejenisnya tidak wajib zakat karena bukan makanan pokok;
Jambu, jeruk, delima, buah per, apel dan sejenisnya juga tidak wajib
zakat karena tidak dapat dikeringkan dan disimpan lama (Yusuf Qardlawi,
Fiqh al-Zakat, I : 350-351).
Al-Qurthubi menyebutkan bahwa Al-Syafi’ie menegaskan : tidak ada
zakat pada buah-buahan selain korma dan anggur. Alasannya karena Nabi
SAW hanya memungut zakat pada kedua jenis buah-buahan tersebut dan
keduanya memang menjadi bahan makanan pokok bagi penduduk Hijaz dan
dapat disimpan lama. Menurut Al-Syafi’ie buah zaitun tidak ajib zakat
dengan alasan disebut bersama-sama dengan delima yang tidak wajib zakat (dalalah al-iqtiran,
QS al-An’am, 6 : 141). Demikian pendapat beliau ketika di Mesir, tetapi
ketika di Iraq beliau mengatakan buah zaitun wajib zakat (Al-Qurthubi,
VII : 103)
3. Madzhab Ahmad bin Hanbal
Pendapat Ahmad bin Hanbal beragam, tetapi yang terkenal disebutkan
dalam kitab al-Mughni (jilid II hal. 547-548) meliputi seluruh hasil
pertanian dan perkebunan yang dapat ditimbang atau ditakar, tahan lama,
dan dapat dikeringkan, baik berupa bahan makanan pokok seperti gandum,
beras, jagung dan sebagainya maupun berupa kacang-kacangan seperti
kacang tanah, kacang kedele, kacang polong dan sebagainya, atau berupa
bumbu-bumbuan seperti jintan putih, atau biji-bijian seperti biji kol
dan sebagainya. Adapun sayur mayur tidak wajib dizakati karena tidak
dapat ditimbang atau ditakar dan bukan biji-bijian. Dasarnya ialah
petunjuk umum dari hadits yang menentukan kadar zakat tanaman yang
diairi dengan air hujan dan kadar zakat yang diairi dengan alat
angkutan, serta hadits Mu’adz ketika mendapat perintah untuk memungut
zakat, Nabi SAW bersabda :
خذ الحب من الحب -جزء من حديث رواه ابو داود وابن ماجه
Artinya :
“Pungutlah biji-bijian dari biji-bijian” (HR Abu Dawud dan Ibn Majah)
Mafhum hadits mencakup makna yang diberikan oleh lafadz tersebut
sehingga zakat pertanian diwajibkan pada semua biji-bijian yang relatif
tahan lama. Adapun mengenai persyaratan harus dapat ditimbang atau
ditakar karena ada petunjuk hadits berikut :
وليس فى حب ولا تمر صدقة حتى يبلغ خمسة اوسق – رواه مسلم والنسائى
Artinya :
“Tidak wajib zakat pada biji-bijian dan korma kecuali telah mencapai lima wasaq” (HR Muslim dan al-Nasa’ie)
Diambil mafhum (mafhum mukhalafah) dari ungkapan kalimat
“lima wasaq” dalam hadits ini, maka jenis biji-bijian dan buah-buahan
yang tidak dapat ditimbang atau ditakar tidak dikenakan wajib zakat.
4. Madzhab Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa semua hasil pertanian atau
perkebunan wajib dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% apabila dikerjakan
dengan tujuan untuk keperluan produksi. Rumput, gelagah, alang-alang
yang umumnya tidak dihendaki untuk tumbuh, bahkan perlu dibabad dan
dibersihkan, maka tidak wajib zakat. Namun demikian, tanaman pepohonan
atau rumput atau gelagah alang-alang sekalipun apabila sengaja
diproduksi untuk mendapatkan penghasilan maka hukumnya wajib zakat (Ibn
al-Humam al-Hanafi, Fath al-Qadir, II :250-251). Imam Muhammad dan Abu
Yusuf berbeda pendapat dengan gurunya dalam masalah ini, mereka
mensyaratkan “tahan lama”. Dengan demikian sayur mayur yang tidak dapat
disimpan lama, seperti kacang panjang, kol, mentimun, bonteng dan
sejenisnya tidak wajib dizakati (Yusuf Qardlawi, Fiqh al-Zakat, I :
354). Imam Abu Hanifah berpedoman pada petunjuk umum dari ayat 267 Surat
al-Baqarah :
ومما أخرجنا لكم من الأرض -الآية
Artinya :
“Dan dari apa yang telah Kami keluarkan dari bumi untuk kamu…”
Di sini tidak dibedakan antara hasil bumi yang satu dengan hasil bumi
yang lainnya, tetapi mencakup semua hasil bumi. Dan berpedoman pada
petunjuk yang lebih rinci dari ayat 141 Surat al-An’am :
وآتوا حقه يوم حصاده -الآية
Artinya:
“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya…”
Perintah menunaikan haknya dalam ayat ini setelah menyebutkan bermacam-macam makanan dan buah-buahan, yaitu : korma, zaitun, delima dan sebagainya, maka kewajiban mengeluarkan zakat meliputi seluruh macam hasil yang disebutkan dalam ayat tersebut, termasuk sayur-sayuran, apa lagi sayur-sayuran adalah hasil bumi yang paling mungkin untuk diserahkan haknya secara langsung pada saat memanen. Berbeda dengan produksi lainnya yang harus menunggu proses pengolahan dan pengeringan. Demikian pula makna yang tercakup dalam hadits berikut :
وفيما سقت السماء العشر وفيما سقى بالنضح نصف العشر
Artinya :
“Pada hasil produksi pertanian yang diairi dengan air hujan zakatnya sepuluh persen dan pada hasil produksi pertanian yang diairi dengan alat angkutan zakatnya lima pesen”
Di sini tidak ada perbedaan
antara hasil pertanian yang tahan lama dengan yang tidak, antara yang
ditimbang dengan yang tidak, dan antara yang menjadi bahan makanan pokok
dengan yang tidak. Sejalan dengan pendapat ini ialah Dawud al-Dhahiri
dan ulama madzhabnya -kecuali Ibn Hazm- mengatakan bahwa semua hasil
bumi, tanpa kecuali, wajib dikeluarkan zakatnya. Pendapat yang demikian
ini berasal dari Al-Nakh’ie dalam salah satu riwayatnya, dari Umar bin
Abdul Aziz, Mujahid dan Hammad bin Sulaiman (Fiqh al-Zakat, I : 354)
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa perbedaan pendapat para ulama
dalam menentukan jenis tanaman yang wajib dizakati disebabkan karena
perbedaan mereka dalam menentukan illat hukum yang menjadi
landasan wajib zakatnya. Baik Al-Qur’an maupun al-Hadits di satu sisi
menyebutkan dengan ungkapan kalimat yang mengandung arti umum (al-’am) dan di sisi lain dengan ungkapan kalimat yang menunjukan arti khusus (al-khash),
bahkan ada riwayat yang secara eksplisit menyatakan tidak wajib zakat
pada selain yang empat jenis pertanian. Bagi ulama yang berpegang pada
lahir hadits ini, obyek zakat terbatas pada jenis tanaman yang
disebutkan dalam hadits. Bagi ulama yang mengembangkan melalui ijtihad
dan menemukan illat hukumnya adalah bahan makanan pokok, maka kewajiban
zakat meliputi seluruh hasil pertanian yang menjadi makanan pokok
penduduk dalam situasi normal. Bagi ulama yang menentukan illat hukumnya
adalah bahan makanan pokok, dapat dikeringkan dan disimpan lama, maka
kewajiban zakat meliputi segala jenis tanaman yang hasilnya memenuhi
persyaratan tersebut. Bagi ulama yang menentukan illat hukumnya adalah
dapat ditimbang atau ditakar, dikeringkan, dan tahan lama atau berupa
biji-bijian, maka kewajiban akat meliputi segala jenis tanaman yang
dapat diukur dengan illat hukum tersebut. Dan bagi ulama yang memandang
bahwa illat hukumnya adalah semata-mata produksi atau penghasilan (min ma yaqshidu bizira’atihi nama’ al-ardl), maka obyek zakat mencakup seluruh hasil produksi yang mempunyai nilai ekonomi.
D. Nisab Zakat Pertanian
Jumhur ulama dari kalangan shahabat, tabi’in dan ulama sesudahnya
menetapkan bahwa produksi pertanian tidak diwajib dikeluarkan zakatnya
kecuali setelah mencapai nisab, yaitu lima wasaq. Ibnai Qudamah
menyebutkan ulama yang berpendapat demikian ialah Ibnu Umar, Jabir, Abu
Imamah bin Sahl, Umar bin Abudul Aziz, Jabir bin Zaid, Al-Hasan, Atha,
Makhul, al-Hakam, al-Nakh’ie, Malik, Ulama Madinah, al-Tsauri,
al-Auza’ie, Ibnu Abi Laila, al-Syafi’ie, Abu Yusuf dan Imam Muhammad
beralasan dengan hadits berikut (Al-Mughni, I : 552) :
ليس فيما دون خمسة أوسق صدقة -متفق عليه
Artinya :
“Tidak wajib zakat bagi produksi pertanian yang kurang dari lima wasaq” (HR Bukhari-Muslim)
Menurut mereka hadits ini mengandung makna khusus yang harus
didahulukan dari pada hadits yang mengandung makna umum yang menjelaskan
wajib zakat terhadap hasil pertanian tersebut di atas. Sementara itu
Imam Abu Hanifah dan sejumlah ulama yang lain berpendapat bahwa zakat
pertanian harus dikeluarkan tanpa memperhitungkan apakah telah mencapai
nisab atau belum. Diantara yang berpendapat demikian ialah Imam Mujahid,
Hammad bin Abi Sulaiman, Umar bin Abdul Aziz dalam satu riwayatnya dan
Ibrahim al-Nakh’ie. Mereka berpedoman pada petunjuk ayat-ayat al-Qur’an
dan hadits yang menetapkan wajib zakat pada sektor pertanian secara
umum. Di samping itu Dawud al-Dhahiri berpendapat bahwa hasil produksi
pertanian yang dapat ditimbang atau ditakar zakatnya setelah mencapai
nisab, yaitu lima wasaq sedangkan hasil produksi pertanian yang tidak
dapat ditimbang atau ditakar seperti kapuk, za’faran, (minyak kayu
putih) dan sayur-sayuran zakatnya dikeluarkan tanpa mempertimbangkan
nisab, artinya sedikit atau banyak harus dikeluarkan zakatnya (Fiqh
al-Zakat, I : 361-362).
Seandainya kita berpegang pada pendapat Imam Abu Hanifah dalam
menentukan obyek zakat yang meliputi seluruh produksi pertanian, maka
dalam masalah nisab yang tidak mempertimbangkan nisab tidak
mengikutinya. Karena tidak sejalan dengan prinsip umum bahwa zakat
diwajibkan pada orang-orang kaya, bukan pada semua orang, sedangkan
nisab adalah batas minimal (al-hadd al-adna) dari orang yang dianggap mampu oleh syari’at. Dengan demikian pendapat jumhur adalah pendapat yang kuat.
Nisab hasil pertanian sebagaimana disebutkan dalam hadits ialah 5
wasaq. 1 wasaq sama dengan 60 sha’ sehingga jumlahnya 300 sha’. Para
ulama menegaskan bahwa kadar nisab dihitung bersih tanpa kulit, dan
apabila buah-buahan sesudah dikeringkan dan siap disimpan, nisbat korma
bukan korma segar (ruthab) tetapi korma kering (tamar), dan anggur bukan anggur segar (‘inab) tetapi anggur yang sudah kering (zabib).
Selanjutnya para ulama berbeda pendapat dalam menentukan sha’. Imam
Abu Hanifah yang mewakili ulama Iraq mengatakan 1 sha’ sama dengan 8
kati Baghdad. Sementara Imam Malik, Imam Al-Syafi’ie, Ahmad dan
lain-lainnya dari ulama Hijaz mengatakan 1 sha’ adalah 5 1/3 kati
Baghdad (Fiqh al-Zakat, I : 365-366). Akibatnya nisab pertanian menurut
ulama Iraq adalah : 5 wasaq X 60 sha’ X 8 kati = 2400 kati, sedangkan
menurut ulama Hijaz : 5 wasaq X 60 sha’ X 5 1/3 kati = 1600 kati. Para
penulis fiqh di Indonesia juga berbeda pendapat dalam menentukan kadar
wasaq dan sha’ tersebut. Sulaiman Rasjid menulis 1 sha’ sama dengan 3,1
liter. Dengan demikian nisab hasil pertanian adalah 5 wasaq X 60 sha’ X
3,1 liter = 930 liter (Fiqih
Islam, 204). Dan Idris Ahmad menulis bahwa 1 sha’ sama dengan 3 1/3
liter sehingga nisab adalah 5 wasaq X 3 1/3 liter = lk. 1000 liter (Fiqh
Syafi’ie, 441).
Untuk memudahkan penghitungan, sebaiknya mengambil riwayat bahwa 1
sha’ sama dengan 4 mud, yaitu takaran penduduk Madinah. Rasulullah SAW
memberikan petunjuk dalam masalah takaran dan timbangan sebagai berikut
(Fiqh al-Zakat, I : 364-365) :
المكيال مكيال أهل المدينة والميزان ميزان أهل مكة – رواه البزار وأبو داود والنسائى
Artinya :
“Takaran gunakanlah takaran penduduk Madinah sedangkan timbangan gunakanlah timbangan penduduk Makah” (HR Al-Bazzar, Abu Dawud dan Al-Nasa’ie)
Ketentuan ini telah dipahami oleh masyarakat muslim di Indonesia,
karena setiap tahun mereka membayar zakat fithrah dengan menggunakan
sha’ yang sama dengan 4 mud. Dengan demikian nisab pertanian adalah 5
wasaq X 60 sha’ X 4 mud = 1.200 mud. Pengurus Badan Amil Zakat (BAZ)
telah mengukur 1 mud beras sama dengan 6 ons sehingga 1 sha’ = 2,4 kg
sehingga apabila dihitung dengan timbangan adalah : 5 wasaq X 60 sha’ X
4 mud X 6 ons = 7,20 kwintal. Apabila 1 kwintal padi rata-rata
menghasilkan 60 kg beras bersih, maka nisab pertanian ialah 12 kwintal
padi.
E. Kadar Zakat Pertanian
Sebagaimana dikemukakan dalam hadits di atas bahwa zakat pertanian
dikeluarkan zakatnya 10 % apabila diairi dengan air hujan dan 5% apabila
diairi dengan menggunakan angkutan atau sejenis pompa air. Imam
al-Nawawie dalam menjelaskan hadits tersebut mengatakan bahwa hasil
pertanian yang diproduksi tanpa mengeluarkan biaya besar zakatnya 10 %
sedangkan yang memerlukan biaya besar zakatnya 5%. Ketentuan ini sudah
tidak dipermasalahkan lagi oleh para ulama karena sudah muttafaq ‘alaih (Syarah
Muslim, juz VII : 60). Ia mengomentar lebih jauh bahwa Syari’at Islam
menentukan kadar zakat diseuaikan dengan berat dan ringannya cost dan
pekerjaan yang dibutuhkan. Cost dan pekerjaan yang paling ringan adalah
memeroleh harta rikaz (penemuan harta peningalan umat masa
lampau), maka zakatnya 20 %. Berikutnya adalah pertanian yang diairi
dengan air hujan yang baiayanya relatif ringan, zakatnya 10%, dan
pertanian yang diairi dengan mengunakan angkutan atau pompa yang
biayanya lebih besar zakatnya 5%. Emas, perak dan harta perniagaan yang
beresiko tinggi dan biayanya cukup besar maka zakatnya 2,5% (Syarah
Muslim, juz VII : 56).
Al-Syaukanie menjelaskan bahwa kedua hadits yang diangkat menjadi
landasan hukum wajib zakat pertanian di atas sudah jelas menyangkut
kadar zakat, yaitu 10% dan 5%. Yang menjadi persoalan adalah
bagaimana seandainya sebagian diairi dengan air hujan dan sebagian lagi
dari pompa air? Menurut ahli hukum jika terjadi demikian zakatnya 7,5%.
Ibnu Qudamah mengatakan bahwasanya saya tidak melihat ada ikhtilaf dalam
masalah ini, namun apabila salah satu dari dua pengairan tersebut
berlebih kurang, maka yang kurang harus diikutkan ke yang lebih.
Demikian menurut Imam Ahmad, al-Tsauri, Abu Hanifah dan salah satu
pendapat dari al-Syafi’ie. Selanjutnya Al-Syaukanie mengomentar bahwa
seyogyanya diperhitungkan secara cermat antara banyak dan sedikitnya
tanaman yang diairi dari kedua sumber tersebut sehingga zakatnya
dikeluarkan sesuai dengan proses pengairannya itu. Dan salah seorang
ulama madzhab Malik bernama Ibnu al-Qasim menambahkan bahwa yang harus
diperhatikan bukan banyak dan sedikitnya pengairan dari kedua sumber air
tersebut, melainkan hal-hal yang dapat menentukan hasil produksinya,
walaupun jumlahnya hanya sedikit (Nailul Authar, juz IV : 158).
Al-Nawawie menerangkan bahwa Imam Al-Syafi’ie dan para pendukung
madzhabnya mewajibkan 10% terhadap tanaman yang diairi dengan air hujan
atau dari saluran air yang berasal dari gunung atau dari sungai besar
atau dari mata air yang besar (waduk) atau memperoleh rembesan langsung
dari tanah seperti pepohonan dan tanaman keras, semuanya 10%. Adapun
yang diairi dengan menggunakan alat angkutan atau pompa dan semacamnya
maka zakatnya 5%. Ketentuan ini tidak ada khilaf diantara kaum muslim
sebagaimana dikutip oleh Al-Baihaqie bahwasanya telah terjadi ijma’
dalam masalah ini. Akan tetapi saluran-saluran air dan selokan-selokan
yang sengaja digalih untuk menghubungkan dengan sungai besar yang
menelan biaya besar zakatnya tetap utuh 10%. Demikian pendapat yang sah
yang masyhur dan yang telah ditetapkan dalam kitab-kitab ulama Iraq dan
Kharasan dan Imam al-Haramain mengatakan adanya kesepakatan para ulama
dalam masalah ini. Lebih lanjut para pendukung madzhab Syafi’ie
memberikan alasan bahwa biaya penggalian saluran tersebut bertujuan
untuk perbaikan areal atau perbaikan tanah, bukan perbaikan tanaman
secara langsung, yang dapat digunakan untuk menyalurkan air terus
menerus ke lahan tersebut. Berbeda dengan pengeluaran biaya untuk
angkutan air atau pompa yang langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman dan produksinya. Imam al-Rafi’ie melansir dari Syaikh Abi ‘Ashim
yang mengutip pendapat Syaikh Abi Sahl al-Sha’lukie dari pendukung
madzhab Syafi’ie, ia telah memfatwakan bahwa tanaman yang mendapat
pengairan dari saluran yang digalih tersebut zakatnya 5%. Pengarang
Al-Tahdzib juga berpendapat bahwa apabila saluran atau sumber air yang
digali dengan biaya besar itu memerlukan pengerukan setiap tahun
zakatnya 5%, tetapi apabila biaya pengerukannya relatif kecil, tidak
sama dengan biaya pengalian, maka zakatnya 10% (Kitab al-Majmu’, V :
444-445)
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa para pakar hukum Islam (fuqaha)
sepakat menetapkan zakat 10% terhadap hasil pertanian yang tidak
mengeluarkan biaya besar atau pekerjaan yang memberatkan seperti tadah
hujan atau mendapat pengairan yang mudah didapat. Dan mewajibkan 5%
terhadap hasil pertanian yang diairi dengan biaya-biaya besar seperti
dipompa atau diangkut dari tempat yang jauh dan semacamnya. Landasan
hukumnya adalah hadits yang shoreh yang telah diriwayatkan oleh sejumla
besar ahli hadits tersebut di atas (Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, II :
812-813)
G. Biaya Produksi yang Tinggi
Yusuf Qardlawie mempersoalkan bagaimana jika pengairan itu memerlukan
alat besar yang tidak dapat dikerjakan dengan alat-alat biasa seperti
pembuatan waduk dan saluran-saluran sekunder dan tertier. Dalam kitab
Al-Mughnie disebutkan bahwa penggalian parit-parit dan pembuatan
waduk-waduk itu tidak mengurangi besarnya zakat. Alasannya bahwa hal itu
termasuk usaha perawatan tanah yang tidak dikerjakan pada setiap tahun.
Al-Rafi’ie dalam Syarah al-Kabir berpendapat yang sama dan mengambil
alasan bahwa pekerjaan tambahan membuat saluran-saluran itu termasuk
kedalam usaha perbaikan tanah, bukan perbaikan tanaman. Oleh karena itu
apabila airnya mengalir ke tanaman, maka zakatnya tetap 10%. Hal ini
berbeda dengan apabila pengairannya dilakukan dengan menggunakan bantuan
alat-alat penyiram dan sebagainya, maka zakatnya 5%. Al-Khaththabi
memberikan rincian bahwa apabila selanjutnya tidak memerlukan biaya
besar seperti pada penggalian pertama, maka zakatnya sama dengan tanaman
yang diairi langsung dari sungai. Tetapi apabila memerlukan biaya besar
seperti parit-parit selalu rusak dan distribusi air tidak sampai kepada
tanaman sehingga memerlukan penggalian lagi, maka zakatnya sama dengan
tanaman yang diairi dengan bantuan alat pengangkut dari sumur (Fiqh
al-Zakat, I : 379-380).
Persoalan selanjutnya adalah menyangkut masalah biaya produksi yang cukup besar, mencapai jutaan rupiah, tetapi tidak meyentuh problem air. Tanah-tanah pesawahan atau perkebunan sekarang hampir seluruhnya tidak mungkin melakukan produksi tanpa biaya besar dalam pengolahannya. Baik di musim penghujan (rendeng) maupun di musim kemarau (ketiga) memerlukan biaya pengolahan dan biaya produksi yang cukup besar dalam upaya peningkatan hasil produksinya. Kebutuhan petani terhadap pupuk Urea, SP.36, Kcl, ZA dan obat-obatan sama dengan kebutuhan terhadap pengairan. Ditambah lagi biaya pengolahan yang semakin sulit, tenaga manusia sudah berkurang sedangkan tenaga mesin yang menggantikannya belum memadai. Demikian pula dalam mengetam, mesin-mesin potong dan perontok gabah belum siap sementara tenaga manusia sudah sulit dicari sehingga disamping harus mengeluarkan antara 18% sampai 20% (6 : 1 atau 5 : 1) sebagai upah memanen (catu / bawon) kadang- kadang harus memberi makan kepada tenaga yang mengetam tersebut (tukang derep). Dan di musim kemarau sering terjadi kekuarangan air, terutama di sekitar pesisir Cirebon dan Indramayu, sehingga untuk mendapatkan air harus mengeluarkan biaya cukup besar, baik untuk biaya pengurusan giliran yang dilakukan oleh kelompok tani maupun untuk biaya pemompaan dari sumber-sumber air yang masih tersedia. Dalam hal ini biaya perhektar mencapai ratusan ribu rupiah.
Menurut salah seorang kontak tani di Arjawinangun bahwa biaya pengolahan dan produksi pertanian perhektar di musim hujan tidak kurang dari Rp. 5.342.000,00 dan hasilnya lk. 6,2 ton gabah. Apabila rata-rata per-ton harganya Rp. 1.330.000,00 maka jumlah seluruhnya Rp. 8.246.000,00. Dengan asumsi ini hasil bersih sebelum dikeluarkan zakatnya adalah Rp. 2.904.000,00. Sedangkan biaya pengolahan dan produksi di musim kemarau, apabila airnya normal, tanpa usaha pemompaan lk. Rp. 4.881.000,00 dengan hasil yang akan diperoleh lk. 7 ton gabah kering simpan. Dan apabila harga gabah kering simpan (bukan kering giling) per-ton Rp. 1.200.000,00 maka hasilnya sebesar Rp. 8.400.000,00. Dengan demikian hasil bersih sebelum dikeluarkan zakatnya Rp. 3.519.000,00 (Sumber informasi : Penyuluh Pertanian).
Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa hasil produksi pertanian
per-hektar per-musim hanya mencapai rata-rata 6,5 ton atau diuangkan
dengan rata-rata perton Rp. 1.250.000,00 = Rp. 8.125.000,00 dikurangi
biaya pengolahan dan produksi sebesar rata-rata Rp. 5.000.000,00 maka
hasil bersih sebelum dikeluarkan zakatnya adalah senilai Rp.
3.125.000,00. Seandainya dikeluarkan zakatnya 10% maka cara
menghitungnya : 6,5 ton ditambah 20% (catu / upah derep) dibagi 10 = 7,8
kwintal atau diuangkan sebesar Rp. 975.000,00. Maka hasil bersih
setelah dikeluarkan zakatnya per musim = Rp. 3.125.000,00
- Rp. 975.000,00 = Rp. 2.150.000,00 atau per
tahun 2 X 2.150.000,00 = Rp. 4.300.000,00.
Selanjutnya apabila diperhitungkan penghasilan perbulan dengan lama
produksi setiap musimnya 4 bulam, maka perbulan hanya menghasilkan lk.
Rp. 537.500,00
Para ulama, sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa ketentuan
zakat pertanian antara 5% sampai 10% memberi isyarat terhadap besar dan
kecilnya cost yang dikeluarkan dalam mengolah lahan pertanian tersebut.
Bahkan para ulama telah mempertimbangkan bagaimana seandainya biayanya
tidak terlalu berat (tidak seluruhnya mengunakan alat angkutan air) dan
tidak terlalu ringan (tidak seluruhnya diairi dengan air hujan atau
selokan), menurut mereka zakatnya 7,5%. Ulama salaf belum
mempertimbangkan selain kebutuhan air. Hal ini bisa dimaklumi karena air
merupakan satu-satunya kebutuhan primer pertanian saat itu. Kalaupun
para ulama yang datang kemudian telah menyebut-nyebut pupuk urea dan
obat-obatan, tetapi waktu itu pupuk urea dan obat-obatan belum menjadi
kebutuhan primer. Karena lahan pertanian masih subur, di musim kemarau
tumbuh rumput yang subur yang berguna bagi binatang ternak. Di samping
itu kotoran binatang jumlahnya cukup banyak sehingga dapat dijadikan
kompos penyubur lahan dan tanaman. Sekarang lahan pertanian sudah mulai
gersang, kompos alam dan kotoran binatang sudah tidak ada. Dengan
demikian kebutuhan petani tehadap pupuk urea dan obat-obatan ama dengan
kebutuhan mereka terhadap air. Oleh karena itu biaya pengolahan dan
produksi pertanian yang semakin berat, sayoyanya dapat dipertimbangkan
sebagai alasan untuk mengeluarkan zakat hanya 5%, tidak 10%
H. Tanah Pertanian yang Disewakan
Apabila pemilik tanah (malik al-ardl) menggarap sawahnya sendiri (al-sa’ie)
maka inilah pekerjaan yang terpuji menurut syari’at dan mengeluarkan
zakatnya 10% atau 5%. Timbul persoalan sekarang adalah pemilik sawah
slalu menyewa-nyewakan tanah kepada orang lain dan orang-orang yang
punya uang suka menyewa tanah yang cukup luas dengan tujuan untuk
mengembangkan uangnya itu. Pihak yang menyewakan tanah dapat memperoleh
hasil tanpa susah payah, sedangkan pihak yang menyewa menggarap tanahnya
dengan penuh resiko. Bagaimanakah zakatnya itu.
Ulama salaf berbeda pendapat dalam menentukan apakah dibebankan
kepada pemilik tanah yang memperoleh uang sewanya, atau kepada pengarap
yang mengelola dan memproduksi hasilnya. Menurut Imam Abu Hanifah dan
riwayat dari Ibrahim al-Nakh’ie bahwa kewajiban mengeluarkan zakat 10%
(atau 5%) dibebankan kepada pemilik tanah. Alasannya karena kewajiban
membayar 10% (atau 5%) itu merupakan beban atas tanah, bukan atas
tanaman. Tanah tersebut dapat menghasilkan produk atau uang ketika
disewakan sebagaimana menghasilkan produk ketika ditanami sendiri. Maka
yang prinsip di sini adalah hasil produksi yang dapat diperoleh, baik
melalui proses sewaan atau digarap sendiri. Sementara menurut Jumhur,
yang berkewajiban membayar 10% (atau 5%) itu pihak penyewa. Alasannya
bahwa 10% (atau 5%) merupakan beban tanaman, bukan beban tanah,
sedangkan pemiliknya tidak menabur benih dan tidak pula memetik hailnya,
bagaimana mungkin membayar zakat pertanian padahal ia tidak
memilikinya.
Yusuf Qardlawie memberikan komentar bahwa dalam Al-Mughni ternyata
menguatkan pendapat jumhur yang mewajibkan zakat kepada pihak penyewa
sehingga dia berkewajiban membayar uang sewanya dan sekaligus membayar
zakatnya, sementara pihak pemilik tidak dibebani membayar zakat. Imam
al-Rafi’ie dalam Syarah al-Kabir juga sama pendapatnya dan mengatakan :
tidak ada perbedaan antara tanah milik dan tanah dapat menyewa dalam hal
wajib zakat 10% (atau 5%). Penyewa membayar zakat dan uang sewanya
seperti halnya seorang pedagang yang menyewa tempat untuk berdagang
(toko), dia membayar uang sewa toko dan zakat dagangannya. Selanjutnya
Qardlawie mengkritisi dan mengatakan bahwa pendapat ini tidak dapat
diterima dengan alasan bahwa karena pedagang akan membayar zakatnya
setelah mencapai haul dan setelah menghitung biaya-biaya yang telah
dikeluarkan, termasuk uang sewa dan gajih pegawai dan lain-lainnya,
sedangkan pertanian tidak demikian, dia harus membayar zakatnya pada
setiap kali panen. Yang adil menurut Qardlawie adalah dikenakan wajib
zakat pada keduanya karena keduanya telah sama-sama memperoleh hasilnya.
Tidaklah benar apabila membebaskan sama sekali pihak penyewa dan
membebankan keseluruhannya kepada pihak pemilik seperti ketentuan
madzhab Abu Hanifah, atau membebaskan pihak pemilik sama sekali dan
membebankan keseluruhannya kepada pihak penyewa seperti ketentuan Jumhur
ulama, tetapi harus dibebankan kepada kedua-duanya. Ibnu Rusydi telah
mengingatkan dengan pemikiran filsafatnya bahwa beban kewajiban yang
menyangkut pertanian bukanlah beban atas tanah semata-mata dan bukan
pula beban atas tanaman semata-mata, tetapi beban atas kedua-duanya. Ini
berarti bahwa beban kewajiban itu ditanggung bersama antara pemilik dan
penyewa.
Selanjutnya Qardlawie menjelaskan mengenai teknisnya dengan
contoh-contoh di Mesir. Di sini seandainya pemilik tanah menyewakan
tanahnya seluas 10 Ha dengan harga 2 juta permusim atau 4 juta pertahun
dan penyewa memperoleh hasilnya 6,5 ton perhektar permusim atau 13 ton
perhektar pertahun, maka pemilik mengeluarkan zakatnya 10% X Rp.
40.000.000,00 = Rp 4.000.000,00 sedangkan penyewa mengeluarkan zakatnya
10% X 65 ton ditambah 20% (catu / upah derep) dikurangi uang sewa
Rp.40.000.000,00, jika harga gabah rata-rata Rp 1.250.000,00 perton,
maka zakatnya = 10% X 78 ton – 30 ton = 4,8 ton atau uang senilai Rp.
6.000.000,00 (Fiqh al-Zakat, I : 398-403; dan Fiqh al-Islam wa
Adillatuh, II :819-820)
Pengembangan illat hukum selanjutnya dapat dilihat dari
praktek-praktek di lapangan, bahwa pemilik tanah, terutama yang mencapai
puluhan hektar menyewakan tanahnya pada setiap tahun dengan tujuan
untuk memperoleh keuntungan dengan resiko yang relatif kecil, seperti
halnya memiliki infestasi berupa hotel atau tempat-tempat penginepan
yang sengaja dibangun untuk disewakan. Demikian pula orang-orang yang
menyewa tanah dalam jumlah yang besar, ditanami padi, jagung, tebu,
tembakau, bawang, dan palawija tujuannya untuk mengembangkan usaha
melalui sektor-sektor yang dianggap akan menguntungkan. Dengan demikian
pola usaha yang mereka akkan bukanlah pola petani, tetapi pola
pengusaha. Dalam prakteknya telah banyak orang yang membeli sawah
berpuluh-puluh hektar dengan tujuan untuk disewa-sewakan itu. Dengan
demikian mereka dikenakan wajib zakat usaha, bukan zakat pertanian,
dengan menghitung haul dan masing-masing hanya mengeluarkan 2,5%-nya.
I. Penutup
Sistem zakat merupakan sistem kesejahteraan sosial yang diatur oleh
syari’at. Yang prinsip dalam masalah ini adalah :”diambil dari
orang-orang yang dipandang mampu dan disalurkan kepada orang-orang yang
dipandang tidak mampu. Kategori mampu (al-aghniya) dan tidak mampu (al-fuqara’)
mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan budaya
masyarakat. Demikian pula pengertian sektor-sektor produksi yang
dikenakan wajib zakat hampir tidak jelas batas-batasnya berhubung dengan
sistem ekonomi global. Mudah-mudahan wacana ini menjadi bahan pemikiran
para ulama dan aghniya, sehingga secara prinsip tujuan dan hikmah
kewajiban zakat dapat tewujud.
Wallahu a’lam bishshawab
Dikutip dari : http://tanbihun.com/
Posting Komentar untuk "ZAKAT PERTANIAN DAN TANAH YANG DISEWAKAN"