Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

HIKMAH PERTAMA


 alhikam

Salah Satu Tanda Bergantung pada Amal Adalah Berkurangnya Harapan tatkala Gagal. (Hikam Ibn `Atha`illah).
Setiap manusia tentunya harapan di dunia ini. Nah, sebab itu ia akan berusaha mewujudkan harapannya itu misalnya saja ia mengharapkan uang 10 juta rupiah.  Tentunya ia akan mewujudkan harapan itu (10 juta rupiah) dengan sebuah amal di dunia misalnya berdagang. Dalam hal ini, setiap orang memahami bahwa hubungan antara harapan (10 juta rupiah) dengan amal (berdagang) sebagai hubungan kausalitas. Ia menganggap bahwa berdagang dianggap sebagai satu-satunya sebab terwujudnya 10 juta rupiah itu. Cara pandang inilah yang disebut oleh Ibn `Atha`illah sebagai bergantung pada amal.
Kita bisa andaikan bahwa jika orang itu menawarkan sebuah barang dan ternyata tidak ada seorangpun yang menawarnya. Bahkan sama sekali tidak ada orang lain yang mau melihat dagangannya, maka kenyataan itu menggambarkan sebuah kegagalan. Kenyataan itu tentunya mempengaruhi kondisi hati seperti berkurangnya harapan. Mungkin dalam hatinya akan berkata,”Wah, saya tidak bisa mendapatkan uang 10 juta rupiah sebab tidak ada seorangpun yang menawar dagangan saya.” Dalam hal ini, berkurangnya harapan itu terjadi sebab ia menggantungkan harapan itu (10 juta rupiah) pada amal (berdagang). Padahal Allah boleh jadi membantunya untuk mewujudkan harapan itu dengan cara lain. Tapi orang itu tidak bisa melihat pertolongan-Nya sebab ia memastikan bahwa dagang sebagai satu-satunya sebab ia memperoleh uang 10 juta rupiah. Jika kita pahami makna “berkurangnya harapan” itu sama dengan pesimisme dalam bahasa sehari-hari. Jelasnya, pesimisme itu merupakan salah satu tanda bahwa manusia menggantungkan harapan pada amal.
Jika begitu, optimisme bisa dikatakan sebagai tanda menggantungkan amal selain pesimisme. Paling tidak kita bisa mengatakan bahwa konsekuensi dari bergantung pada amal adalah pesimisme dan optimisme. Misalnya, jika kenyataan memperlihatkan bahwa banyak orang yang menawar dagangan itu dan bahkan yang membeli dagangan itu, maka orang yang memiliki harapan 10 juta rupiah itu berkata dalam hati,”Nah, jika begini kenyataannya, pastilah 10 juta rupiah itu dapat saya wujudkan dengan mudah.”Padahal boleh jadi ia benar-benar memegang 10 juta rupiah hasil dari dagang itu tai Allah menghendaki lain, tiba-tiba ada pencuri yang mengambil uang 10 juta rupiah itu, maka orang itu mengalami kekecewaaan luar biasa. Sebaliknya, jika uang 10 juta rupiah itu tetap ada di genggaman tangannya maka boleh jadi orang itu mengatakan,”Inilah hasil dari kerja kerasku dalam berdagang.” Perkataan itu menggambarkan sebuah kesombongan dalam hati. Pendek kata, optimisme itu boleh jadi awal dari kekecewaan dan awal dari kesombongan. Sementara itu, pesimisme boleh jadi awal dari kesedihan dan keputusasaan.
Dalam hikmah pertama itu, Ibn `Atha`illah ra mau memberikan kritik terhadap sikap manusia dalam memahami amalnya saat memiliki sebuah harapan. Kritik pertama tertuju sikap pesimisme yang boleh jadi awal dari kesedihan atau keputusasaan. Kritik kedua tertuju pada optimisme yang boleh jadi itu awal dari kekecewaan dan kesombongan. Baik optimisme maupun pesimisme itu dipahami oleh Ibn `Atha`illah sebagai konsekuensi manusia ketika ia bergantung pada amal di saat ia memiliki harapan.Ibn `Atha`illah ra tidak setuju dengan sikap optimisme dan pesimisme tapi sebaliknya ia mengajarkan ketenangan saat memiliki harapan. Ketenangan itu bisa diperoleh dalam hati manusia dengan cara menggantungkan harapan pada Allah.

Nderek Ngutip saking :  http://www.sarkub.com/

Posting Komentar untuk "HIKMAH PERTAMA"