Kewirausahaan Alumni Pesantren
Menumbuhkan Semangat Kewirausahaan Alumni Pesantren
Mengawali tulisan ini, penulis bermaksud merefleksikan peran dan kiprah alumni pondok pesantren di berbagai ruang dan bidang. Sejauhmana peran dan kiprahnya, tantangannya seperti apa dan bagaimana dengan komunitas jaringan alumni pesantren.
Untuk melihat sebaran ruang alumni pondok pesantren itu, maka paling tidak kita dapat melihat dalam beberapa aspek aktifitas dan ruang ; pertama, kiprah alumni yang bergerak di dunia pendidikan (seperti mereka yang memiliki pesantren, sekolah umum, madrasah, yayasan dan lembaga kursus), kedua, kiprah alumni di ranah politik (dalam hal ini baik ruang keterlibatan alumni dalam partai politik praktis, maupun pengamat politik), ketiga, kiprah alumni dalam dunia sosial-kemasyarakatan (pendidik, muballig, tokoh masyarakat, aktivis budaya, aktivis sosial, penggiat LSM), keempat, ruang alumni dibidang pemerintahan, dan kelima ruang alumni di ranah ekonomi dan kewirausahaan.
Dari lima ruang public yang dimasuki alumni pesantren, nampaknya ranah ekonomi dan kewirausahaan menenmpati urutan terakhir. Untuk itu tulisan ini bermaksud memberikan perspektif dan analisa sejauhmana potensi alumni dalam rangka meningkatkan peran di bidang ekonomi dan kewirausahaan di lingkungan masyarakat, dan bagaimana upaya yang harus dilakukan.
Menimbang Eksistensi Pesantren
Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan tradisional sering dikaitkan dengan prinsip keikhlasan yang dimiliki guru-gurunya dalam mengajar, mereka mengajar tanpa pamrih dan terkadang hidup mereka “diwakafkan” untuk pesantren. keikhlasan para pendiri dan guru gurunya menjadi salah satu alasan mendasar perkembangan pesantren yang begitu cepat. Catatan Direktorat Pendidikan Islam Kementrian Agama Pusat, pada tahun 2006 saja di Indonesia ada 16.015 buah pesantren, sebuah angka yang sangat fantastik. Alumnusnya mencapai puluhan juta orang dan tersebar di seluruh pelosok tanah air. Fakta itu menunjukkan bahwa pesantren merupakan kekuatan potensial dan luar biasa yang dimiliki bangsa Indonesia. Perannya bagi kemajuan negara sungguh tak ternilai harganya.
Begitu juga dengan jiwa kesederhanaan dan apa adanya yang selalu ditanamkan di kalangan civitas akademika pesantren. Prinsip ini mengajarkan santri untuk hidup selalu dalam kesederhanaan, menghindari hal-hal yang berbau poya-poya atau tidak bermanfaat, sebuah system kehidupan yang berjalan dengan apa adanya seperti air yang mengalir.
Jiwa keikhlasan dan kesederhanaan ini harus terus dipertahankan, tetapi jangan sampai hal ini membuat pesantren tidak merasa berkewajiban untuk memperhatikan kesejahtraan guru-guru dan berusaha untuk meningkatkan fasilitas pendidikanny, atau memodernkannya. Dalam catatan Kemenag RI, banyak pesantren-pesantren khususnya pesantren salaf yang mempunyai fasilitas pendidikan di bawah standar. Sebagai contoh dalam hal asrama santri, satu kamar yang berukuran sekitar 3 x 2m dihuni oleh delapan hingga dua puluh santri, karena kamarnya penuh dengan lemari para santri terkadang harus tidur di kelas, di mesjid, jerambah dan hanya beralaskan sajadah dan berbantalkan peci di kepala.
Inilah gambaran umum tentang pesantren khususnya pesantren salaf, sehingga berimplikasi pada lulusan pesantren ketika berkiprah di masyarakat. Mereka merasa bahwa dirinya kelas dua bila dibandingkan dengan lulusan lembaga pendidikan lainnya seperti perguruan tinggi. Bekal soft skill seperti kemamandirian dan kesederhanaan seharusnya bisa menjadi modal dalam mengembangkan diri di tengah masyarakat.
Namun demikian situasi dan kondisi sederhana ini tidak berbanding lurus dengan kualitas SDM yang dihasilkan. Semakin sederha maka semakin jelek kualitas pendidikannnya, sebaliknya semakin baik maka semakin baik kualitas pendidikannnya. Banyak kader-kader pesantren yang pada akhirnya bisa eksis di tengah masyarakat baik lokal, regional, maupun nasional.
Menumbuhkan Sikap Entrepreneur
Berdasar kalkulasi Ciputra, seorang pengusaha properti, jumlah entrepreneur di tanah air saat ini baru sekitar 400 ribu orang atau 0,18 persen dari populasi. Padahal, untuk menjadi bangsa maju, Indonesia setidaknya butuh entrepreneur sebanyak 2 persen dari populasi. Untuk itu, Ciputra menyarankan agar pemerintah membentuk entrepreneurship center di setiap lembaga pendidikan termasuk pesantreni agar mampu mendidik para mahasiswa supaya dapat menciptakan lapangan kerja setelah menjadi sarjana.
Kurangnya minat para sarjana menjadi entrepreneur salah satunya memang disebabkan kurikulum perguruan tinggi yang tidak mendorong kreativitas wirausaha para mahasiswa. Universitas hanya mencetak calon-calon buruh terdidik yang hanya puas mendapat gaji dan tidak berani mengambil risiko memulai sebuah usaha.
Kerwirausaha merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia karena keberadaannya sebagai khalifah fil-ardh dimaksudkan untuk memakmurkan bumi dan membawanya ke arah yang lebih baik. Namun kenyataannya tidak mudah bagi kita untuk memulai terjun berwirausaha. Kendala, rintangan dan kesukaran senantiasa menghampiri aktifitas didalamnya, namun demikian berbagai permasalahan yang datang adalah lembaran utama berupa proses menuju pendewasaan dan kematangan seorang entrepreneurship yang bermuara pada kesuksesan dalam mengelola suatu bidang usaha.
Berikut kunci sukses berwirausaha menurut Dr. Reinald Kasali untuk memulai suatu usaha bisa sukses yaitu : BODOL (Berani, Optimis, pakai Duit Orang lain), BOTOL (Berani, Optimis, pakai Tenaga Orang Lain), dan BOBOL (berani, optimis, pakai sistem Bisnis Orang Lain/ meniru Bisnis Orang Lain).
1. BODOL. Menggunakan uang orang lain dalam memulai usaha Justru amat menantang karena ada kewajiban untuk mengembalikannya tepat waktu. Lagipula jika uang orang lain yang dipakai maka secara logika spritual yang mendo’akan supaya usaha sukses tidak hanya kita, tapi seluruh keluarga yang punya uang.
2. BOTOL. Inilah bedanya pedagang dan pengusaha, pedagang merefleksikan dirinya sebagai pemilik, manajer, sekaligus sebagai karyawan apapun, sehingga usaha tersebut bertumpu hanya pada dirinya sensiri. Berbeda dengan pebisnis, system usaha dibangun berdasatrkan fungsi masing-masing. Owner (pemilik), manajer, dan karyawan mempunyai fungsi masing-masing, sehingga dalam sebuah bisnia perlu merekrut tenaga orang lain agar usahanya jalan. Warteg misalnya yang berkembang di Jakarta, sudah menerapkan system bisnis modern sehingga mereka ntetap eksis meski pemiliknya tinggal di Tegal.
3. BOBOL. Untuk BOBOL, disarankan untuk meniru sistem yang sudah sukses, misalnya waralaba. Atau untuk jenis produknya, bisa meniru yang sudah sukses dengan melakukan sedikit inovasi. Bukan mustahil, kita yang datang belakangan bisa lebih sukses dari pendahulu kita jika memang kualitasnya lebih baik dan harganya lebih murah.
Seorang entrepreneur harus bisa memanfaatkan waktu, tenaga (ketrampilan) dan duit orang lain untuk mencapai kesuksesan. Artinya, yang fokus dalam berusaha bukanlah si pengusahanya melainkan para profesional yang bekerja padanya. Tentu saja para profesional ini bisa jadi lebih pandai darinya. Agar para profesional ini tidak lari, maka perlu membesarkan radius kepercayaan mereka. Salah satunya dengan cara berikan saham atau profit sharing yang seimbang dengan profesionalitas masing-masing.
Tentu ketiga prinsip ini harus dibarengi dnegan sikap mental yang harus perlu dimiliki oleh seorang wirausahawan agar sukses menjalankan wirausahanya, di antaranya adalah : (1) Kreatif dan Inovatif; (2) Optimis dan Tegar; (3) Pekerja Keras; (4) Multi Tasking; (5) Berhemat, dan (6) Berani Ambil Resiko.
Profil Bisnis Pesantren
Tidak bermaksud menggurui alumni pesantren, tetapi sekedar menggugah angan-angan untuk memberikan eksistensi alumni di tengah masyarakat, bahwa alumni pesantren bisa melakukan upaya-upaya entrepreneur sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
1. Bisnis Waralaba; yaitu kerja sama antara entrepreneur (franchisee) dengan perusahaan besar (franchisor/parent company) dalam mengadakan persetujuan perjanjian untuk menyelenggarakan usaha. Bentuk usaha fanchisee adalah duplikasi dari perusahaan franchisor.
Kerja sama ini biasanya dengan dukungan awal seperti pemilihan tempat, rencana bangunan, pembelian peralatan, pola arus kerja, pemilihan karyawan, advertensi, pembukuan, pencatatan dan akuntansi, konsultasi, standar, promosi, pengendalian kualitas, riset, nasihat hukum, dan sumber sumber permodalan.
KELEBIHAN KEKURANGAN
- Pelatihan formal
- Batuan manajemen keuangan
- Metode pemasaran yang telah terbukti
- Bantuan manajemen operasional
- Jangka waktu permulaan bisnis lebih cepat
- Tingkat kegagalan keseluruhan lebih rendah
- Pajak Franchise
- Royalti
- Batas pertumbuhan
- Kurangnya kebebasan dalam operasi
- Franchisor mungkin penyalur tunggal dari beberapa
- perlengkapan
2. Koperasi Jasa Keuangan Syariah; KJKS atau BMT Syirkah Muawanah merupakan upaya minimal dalam rangka mediasi antara shohibul mal dengan mudhorib dalam istilah perbankan syariah. Upaya ini telah dilalkukan oleh Pesantren Maslakul Huda dengan mendidrikan BPR Syariah Arta Huda dan BPR Konvensional Arta Surya di Kajen Pati.
3. Wisata Religi; Wisata religi merupakan fenomena manarik yang semakin hari semakin menyita waktu sebagian besar masyarakat Indonesia umumnya, dan masyarakat santri di Jawa pada khususnya. Menarik tidak hanya dilihat dari aspek syar’I tetapi dari aspek bisnis menjadi ranah bisnis yang prospektif. Menyiapkan saraana transportasi, menyiapkan akomodasi seperti penginapan dan konsumsi menjadi lahan yang menarik. Untuk itu bermunculan EO (event organization) atau penyelenggara wisata yang konsen dengan wisata religi.
Contoh-contoh tersebut sekedar profil bisnis yang sangat mungkin dilakukan oleh para alumni pesantren yang ingin berkiprah dalam dunia kewirausahaan (entrepreneur). Selamat mencoba. Wallohu A’lamu bi Shawab.
Oleh: Dr. Imam Yahya, M.Ag.
(Alumni Pondok Pesantren An-Nur Lasem Rembang &
Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang)
CopasMania : http://imamyahya.blogspot.com/
Posting Komentar untuk "Kewirausahaan Alumni Pesantren"