Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Definisi dan Indikasi Hukum Wajib

a). 1 Hukum Ijab dan Wajib
Pembahasan hukum ijab dan wajib ini meliputi empat term, yaitu definisi, indikasi, dan klasifikasi serta konsekwensi hukum tersebut.
a). 1. a Definisi Wajib
Secara bahasa, kata wajib bermakna as-saqith (yang gugur), al-lazim (yang tetap). Sedangkan menurut istilah, wajib adalah:

ما طلبَ الشَّارعُ فعله على وجهِ اللُّزومِ، ورتَّب على امتثالهِ المدحَ والثَّوابَ،

وعلى تركهِ مع القُدْرةِ الذَّم والعقابِ

“Sesuatu yang diperintahkan oleh syarak untuk dikerjakan dengan adanya tekanan, dan diruntutkan pujian serta pahala dengan mengerjakannya atau celaan serta siksaan dengan meninggalkannya”.[1]
Mudahnya, wajib menurut ahli fikih adalah:

ما يثاب على فعله ويعاقب على تركه

 او ما أمر الشارع به أمراً جازماً، أو ما طلب الشارع من المكلف فعله طلباً جازماً

“Sesuatu yang diberi pahala bila dikerjakan dan disiksa apabila ditinggalkan atau sesuatu yang diperintahkan syarak dengan perintah yang jazim atau dituntut dengan jazim”.[2]
Misalnya adalah salat lima waktu itu hukumnya wajib, mendapat pahala ketika dikerjakan dan disiksa apabila ditinggalkan, begitu juga dengan hukum zakat, puasa, dan hajji bagi yang telah mampu, serta kewajiban-kewajiban yang lain. Sedangkan hukum ijab menurut ahli usul fikih adalah :

طلب الفعل طلباً مشعراً بالذم على الترك

“Menuntut (untuk mengerjakan) sesuatu dengan tuntutan yang memberikan petunjuk adanya celaan ketika ditinggal”.[3]
Misalnya adalah firman Allah yang menyebutkan:

يا ايها الذين آمنوا أنفقوا من طيبات ما كسبتم ومما أخرجنا لكم من الارض (البقرة : 287)

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu”.[4]
a). 1. b Indikasi Hukum Wajib
Indikasi hukum wajib bisa dipahami dari bentuk-bentuk kata dan redaksi (sighot) yang digunakan dalam hukum tersebut, di antaranya adalah:
1. Setiap fi’il Amar (yang mengikuti wazan افعـل dalam Tsulasi dan wazan-wazan lain yang telah ditentukan). Misalnya:  أقـيـمـوا الصـلاة  (الانعام : 72) poinnya pada kata ‘Aqimu’. Redaksi amar dari wazan tersebut secara sepintas dan mutlak berindikasi wajib, dan jika ada indikasi tertentu yang mengarahkan pada selain hukum wajib, misalnya sunah atau mubah, maka tidak lagi menunjukkan hukum wajib.
2. Fi’il Mudhori’ yang kemasukan Lam Amar (Lam yang berguna menun- jukkan perintah). Misalnya:   فـَـلْيَـتـَّقُوا اللهَ وَلْيَقـُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (النساء : 9)  poinnya pada kata ‘falyattaqu’ dan ‘walyqulu’.
3. Isim Fi’il Amar (kalimah isim yang bermakna fi’il tetapi tidak bisa mene- rima alamatnya fi’il). Misalnya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ  (المائدة : 105)

poinnya pada kata ‘alaikum’ yang disebut isim fiil dan bermakna ‘ilzamu/tetaplah’.
4. Masdar yang mengganti (kedudukan) Fi’il Amar, artinya mempunyai arti perintah.[5] Misalnya:

فَإِذَا لَقـِيـتُمُ الَّذِينَ كـَفـَرُوا فـَضَرْبَ الـرِّقَابِ  (محمد : 4)

poinnya pada kata ‘fadhorbarriqob’ yang bermakna fiil ‘idhribu’.
5. Formula (sighot) dari kata ‘amara’ dan yang ketasrif dari lafadz tersebut.
Misalnya:

ان الله يأمر بالعدل والإحسان (النحل : 90)

poinnya pada kata ‘ya’muru’.
6. Formula dari kata ‘kataba’ dan yang ketasrif dari lafadz tersebut.
Misalnya:

كـتب عليـكم الـقـتـال وهو كـره لـكم (البقرة : 216)

poinnya pada ‘kutiba’.
7. Formula dari kata ‘farodho’ dan yang ketasrif dari lafadz tersebut.
Misalnya:

سـورة انـزلـناها وفـرضناها  (النور : 1)

poinnya pada ‘farodhnaha’.
8. Formula dari kata له عليك فعل كذا (ketetapan) atas kamu mengerjakan ini untuknya’. Misalnya:

ولله على الناس حج البيت الاية (آل عمران : 97)

9. Kalam khobar (perkataan yang mempunyai realita, yang sesuai {benar} atau tidak sesuai {salah} dengan realita tersebut), yang memosisikan tujuan dalam posisi sempurna wujudnya, sebagai bentuk penguat (ta’kid). Misal:

والذين يتوفون منكم ويذرون ازواجا يتربصن بأنفسهن اربعة أشهر وعشرا (البقرة : 234)

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) selama empat bulan sepuluh hari”.[6]
9.  Ada ancaman siksa jika meninggalkan sesuatu. Contoh:

 فان لم تفعلوا فأذنوا بحرب من الله ورسوله (البقرة : 279)

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu”.
10. Peninggalnya dianggap durhaka, bermaksiat, dzolim, atau sifat-sifat buruk lainnya. Misalnya:

ومن لم يتب فأولئك هم الظالمون (الحجرات : 11)

11. Peninggalnya mempunyai konsekwensi tidak sah ibadahnya. Contoh:

لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكــتاب، لا نكاح الا بولي

“Tiada salat (yang sah) bagi yang tidak membaca Fatihah, tidak ada nikah (yang sah) kecuali dengan seorang wali nikah”.
a). 1. c Klasifikasi Hukum Wajib
Secara mendasar, hukum wajib dapat diklasifikasikan dalam tiga aspek, yaitu aspek dzati (substansi hukum wajib), aspek waktu pelaksanaan, dan pelaku (mukallaf). Dari aspek substansi, wajib terbagi dalam dua poin, yaitu wajib mu’ayyan dan wajib mubham. Wajib mu’ayyan berarti tuntutan sesuatu yang posisinya tidak bisa digantikan oleh sesuatu lainnya, misalnya: perintah tentang salat, zakat, puasa dan kewajiban-kewajiban yang tidak ada pilihan pengganti lainnya. Sedangkan wajib mubham artinya tuntutan beberapa sesuatu yang sifatnya boleh memilih di antara hal tersebut, dan harus dikerjakan salah satunya serta tidak boleh ditinggalkan semuanya. Misalnya adalah: kewajiban memerdakan budak atau memberi pakaian sepuluh fakir-miskin atau memberi makan mereka bagi penerjang sumpah. [7]
Dari aspek waktu pelaksanaan, wajib terbagi menjadi dua poin, yaitu wajib mudhoyyaq (terdesak) dan wajib muwassa’ (diperpanjang). Wajib mudhoyyaq berarti waktu pelaksanaannya tidak menerima kewajiban lain yang sifatnya sejenis, misalnya kewajiban puasa di bulan Ramadhan, tidak boleh menjalankan ibadah puasa selain fardu tersebut, baik puasa sunah maupun puasa fardhu lainnya. Sedangkan wajib muwassa’ artinya waktu pelaksanaannya tersebut masih menerima kewajiban lain yang sejenis, misalnya dalam waktu salat Dzuhur, boleh menjalankan salat sunah, salat fardhu qodho, maupun fardhu yang i’adah (diulang) karena ada jama’ah.[8]
Namun, kadang mudhoyyaq dan muwassa’ itu dipahami lain. Artinya, mudhoyyaq dipahami untuk kewajiban yang waktunya hampir tidak cukup (istilahnya sampai waktu tahrim/haram mengakhirkan ibadah sampai waktu ini), sedangkan muwassa’ waktunya masih panjang.[9]
Adapun dari aspek pelaku, wajib terbagi menjadi dua pula, yaitu wajib ‘aini (secara personil) dan wajib kafai (secara plural). Maksudnya wajib ‘aini adalah tuntutan itu diarahkan kepada perindividu orang mukallaf, sehingga tidak boleh untuk diwakilkan kepada orang lain. Misalnya: salat lima waktu dan puasa wajib. Adapun wajib kafai adalah tuntutan yang berlandaskan terhadap wujudnya pekerjaan, kalau obyek fardhu ‘ain adalah individu orang mukallaf, maka obyek fardhu kifayah adalah pekerjaan itu terwujud dan terlaksana. Misalnya: menolong orang yang tenggelam, memandikan mayit, atau mensalatinya.[10]
Untuk lebih mudahnya perhatikan bagan berikut:


[1] Abdullah bin Yusuf al-Jadik. t.t. Taisiru Ilmi Usul al-Fikih. t.tp.: t.pn. hlm: 09.
[2] Ada perbedaan di antara kedua definisi di atas, definisi yang menggunakan redaksi tsawab (pahala) dan Iqob (siksa) disebut dengan ta’rif rosmi (definisi rasm), karena yang digunakan adalah pahala dan siksa yang menjadi lazimiah (konsekuensi yang sebagai khossoh) hukum tersebut yang sifatnya masih khofi (samar) dan belum diketahui keberadaanya. Sedangkan definisi yang menggunakan redaksi jazim (penekanan yang jelas), ini menggunakan ta’rif haddi (yang menggunakan fasl), hal ini juga berlaku untuk definisi hulum yang lain. Muhamad al-Hasan as-Siqinthi. t.t. Syarah Waroqot Fi Usul al-Fikih. t.tp.: t.pn. Maktabah: Syamilah isdar 3,5. hlm. 15
[3]  Iyyad bin Nami as-Silmi. Usul Fikih al-Ladzi La Yasau li al-Fakihi Jahluhu. Ibid, hlm. 21.
[4]  Sebagai dalil wajibnya mengeluarkan zakatnya zuru’ (tanaman pepadian). Sayyid Sabiq. t.t. Fikih Sunnah. t.tp.: t.pn. Maktabah: Syamilah isdar 3,5. Vol. 01. hlm. 374.
[5]  Abdulah bin Yusuf al-Jadik. t.t. Taisiru Usul al-Fikih. t.tp.: t.pn. Maktabah: Syamilah isdar 3,5. Vol. 01. hlm. 09.
[6] Ayat di atas menggunakan redaksi khobar, namun tujuan utamanya adalah menyuruh perempuan tersebut untuk melaksanakan ‘iddah. Faktor penyampaian hukum dengan metode ini adalah menguatkan perintah tersebut, seakan-akan sudah terjadi dan tidak bisa dielakkan lagi. Al-Jadik. Ibid. hlm. 11.
[7]  Hal ini menolak anggapan muktazilah yang tidak setuju dengan pilihan tersebut dengan alasan menafikan konsekwensi wajib yang mengandung tuntutan bukan pilihan. Karena dalam wajib mubham ini masih ada tuntutan, sekalipun bersifat tidak menentu satu poin saja. Muhamad Amin bin al-Mukhtar as-Siqinthi. t.t. Madzkaroh Fi Usul al-Fikih. t.tp.: t.pn. Maktabah: Syamilah isdar 3,5. hlm. 09.
[8]  Amin bin al-Mukhtar. Ibid.
[9] Namun sebenarnya ini adalah cabang dari kaidah penentuan muwassa’ dan mudhoyyaq tersebut. Sebab, jika kewajiban itu menerima ibadah sejenisnya, maka sudah barang tentu waktunya itu diperpanjang. Dan apabila sudah mepet waktunya, berarti tidak menerima ibadah sejenis lainnya. Dan ini menjadi kewajiban mudhoyyaq. Talkih alAfham al-Aliyyah Bi Syarh al-Qowaid. t.tp.: t.pn. Juz. 02. hlm. 39.
[10]  Muhamad Amin as-Siqinthi. Loc. Cit. Hlm. 10.

Dikutip dari :  http://tanbihun.com

Posting Komentar untuk "Definisi dan Indikasi Hukum Wajib"